Ketika Pertanyaan “itu” Terasa Tidak Terlalu Menyakitkan

 

Selama bulan Ramadhan hingga kini di bulan Syawal, banyak meme-meme bertebaran di media sosial tentang seberapa menyakitkannya pertanyaan “kapan nikah?” bagi seorang jomblo. Namun, sungguh, bagiku ada pertanyaan yang lebih menyakitkan, yaitu “kerja di mana”. Pun tidak bisa kupungkiri bahwa pertanyaan “kapan nikah?” juga terkadang meresahkan apalagi bila melihat foto-foto sejawat yang telah menggenapkan.

Setahun dua bulan dua puluh hari sudah aku kembali melewati hari-hari di kota kelahiran. Hari-hari tanpa “pekerjaan” dalam pandangan orang-orang. Sungguh, kondisi ini teramat tidak menyenangkan. Ah, entah sudah kemana mimpi-mimpi berapi-apiku beberapa tahun yang lalu. Entah telah dibakar waktu lalu menjadi arang yang melayang-layang terbawa angin tak tentu arah.

Terkadang ibuku sempat berpikir ke arah itu kala aku bercerita sesuatu yang bersinggungan dengan sahabat-sahabatku di tanah rantau dulu yang kini tengah sibuk dengan karier dan cita-citanya. Sempat beliau berkata, “mungkin kalau bukan karena aku, kamu sudah S2,” dan seterusnya dan seterusnya.

Sungguh, aku yang kini rasanya sudah benar-benar melupakan semua mimpi-mimpi indah itu dan merelakan hidup begini. Dan terkadang tersadarkan bahwa aku tidak benar-benar berbakat di suatu bidang pun. Aku mungkin cukup bisa ini dan itu dengan cukup baik, namun hanya cukup, tidak lebih.

 

Sungguh sangat menyesakkan kala ada yang bertanya dengan seolah memaksaku untuk menjawab dengan jawaban yang mereka kehendaki, lalu berakhir dengan memasang ekspresi tidak percaya bahwa aku sekarang “pengangguran”.

Memang sejatinya aku tidak jua dikatakan menganggur karena masih ada sejumlah aktivitas ini dan itu yang harus aku kerjakan pun dengan kondisi yang seperti ini. Namun, hal itu tentu tidak juga membuatku merasa berarti. Ibaratnya, aku memang masih menjadi petasan, tetapi hanya petasan kecil dengan daya ledak kecil. Tidak berkesan di bumi apalagi mungkin di langit.

 

Ah, terkadang kala iman ini sedang terpuruk ke jurang kefuturan, sering aku bertanya-tanya apakah memang tiada penciptaan yang sia-sia. Karena apa yang aku jalani sekarang terlihat dalam pandanganku mendekati sia-sia.

Aku ingin menjadi bernilai lebih, berdaya ledak besar. Namun, aku senantiasa merasa terkungkung dalam ritme saat ini. Seolah terpenjara tanpa kertas dan pena. Hanya menunggu titik akhir di tempat yang sama tanpa mampu berbuat apa-apa lagi.

Ah, entahlah. Mungkin semua pemikiran putus asa ini merupakan muara dari jauhnya hati dari cahaya Sang Pencipta.

Keresahan bertubi-tubi ini adalah buah dari terjauhnya diri dari hal-hal yang baik sehingga menjadi diliputi yang buruk dan mengakibatkan resah.

 

Butuh keyakinan besar dan keteguhan hati dan semangat untuk bisa meyakinkan diri ini bahwa engkau tetap bisa menjadi petasan berdaya ledak besar meski tak hidup di kota besar. Butuh keyakinan kuat bahwa diri ini masih bisa berbuat untuk sekitar dan menebar kebermanfaatan yang bisa dirasai banyak orang.

Butuh keyakinan yang seyakin-yakinnya bahwa tiada suatu penciptaan pun yang sia-sia, bahwa setiap orang terlahir dengan kemisian hidup masing-masing. Tinggal mengerahkan segenap upaya dan doa terbaik untuk menemukan kemisian itu dan berjalan di atasnya.

 

Di akhirat, kelak manusia akan ditanyai tentang dengan apa ia habiskan masa mudanya. Ah, akankah aku bisa mempertanggungjawabkannya. Rasanya, sudah terlalu banyak kesiaan yang aku perbuat. Entah masih cukup waktuku tuk mengubahnya. Entah masih ada setitik hidayah untukku yang kan menjadi pembimbing tuk menemukan jalan-jalan yang kan menghubungkanku dengan kampung akhirat. Ya Rabbi, ampuni aku.

Leave a comment